Oleh Ismail Asso, Anggota MRP Papua Pegunungan, Pokja Agama Islam
Sejak Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) Papua diberlakukan oleh Pemerintah Pusat, berbagai wacana dan gagasan kerap disampaikan oleh Ismail Asso yang lebih dikenal dengan sebutan Ustadz Ismail Asso. Namun, tidak jarang pemikiran-pemikirannya disalahpahami oleh masyarakat Papua. Salah satunya adalah pernyataannya yang baru-baru ini viral: "Pemberantasan Miras di Kota Wamena Melanggar HAM."
Kesalahpahaman ini wajar terjadi, mengingat latar belakang pendidikan Ustadz Ismail Asso yang ditempatkan di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Ciputat, Jakarta—sebuah kampus Islam terkemuka yang dikenal sebagai pusat pembaruan pemikiran Islam di Indonesia. Di sanalah ia akrab dengan pemikiran sastra tokoh-tokoh seperti Harun Nasution, Nurcholish Madjid (Cak Nur), Abdurrahman Wahid (Gus Dur), hingga Quraish Shihab dan Azyumardi Azra.
Ia juga mempelajari pemikiran dunia Islam seperti Muhammad Iqbal, Ali Syariati, Hasan Al-Banna, Hasan Turabi, serta filsafat Barat melalui tokoh-tokoh seperti Franz Magnis-Suseno. Pemikiran-pemikiran tersebut membentuk cara berpikir kritis dan humanistik yang menjadi ciri khasnya.
Sayangnya, banyak pihak yang belum terbiasa dengan dialektika pemikiran seperti itu. Akibatnya, berbagai pernyataan Ustadz Ismail sering disalahpahami dan bahkan mendapat caci maki di media sosial seperti grup WhatsApp. Banyak yang hanya membaca judul tulisan dan langsung menghakimi secara hitam-putih, tanpa membaca dan memahami isi pikiran secara menyeluruh.
Dalam kasus terbaru, Ustadz Ismail menyampaikan pendapat pribadinya terkait cara Pemerintah Kabupaten Jayawijaya menindak peredaran minuman keras (miras) di Kota Wamena. Ia menyatakan dukungan penuh terhadap pemberantasan miras karena ia memahami bahwa dalam Islam, miras adalah barang haram dan merusak moral masyarakat. Namun, ia menekankan cara pemberantasan yang diterapkan—yakni mengusir para penjual miras dari Kota Wamena tanpa proses hukum yang adil.
Menurutnya, tindakan mengecualikan warga yang menonton menjual miras tanpa proses hukum dan pelatihan adalah bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Ia menegaskan bahwa setiap warga negara berhak hidup dan tinggal di wilayah manapun di Indonesia, sebagaimana dijamin oleh konstitusi.
Kritiknya bukan pada esensi pemberantasan miras, tetapi pada metode hukuman yang digunakan—yang menurutnya melanggar prinsip-prinsip keadilan, kemanusiaan, dan supremasi hukum. Dalam perspektifnya, seperti sanksi pengusiran tidak hanya bertentangan dengan HAM dan sila kedua Pancasila (*Kemanusiaan yang adil dan beradab*), tetapi juga mencederai prinsip negara hukum.
Ia menambahkan, apakah dengan menjual penjual miras, maka peredaran miras benar-benar akan berhenti? Tanpa pendidikan, rehabilitasi, dan proses hukum yang tepat, solusi semacam ini bisa bersifat sementara dan tidak menyelesaikan akar permasalahan.
Ustadz Ismail Asso mengajak semua pihak untuk bersatu dan proaktif dalam memberantas miras dan zat adiktif lainnya seperti lem aibon dan ganja. Namun, ia menekankan pentingnya pendekatan yang berbasis pada keadilan sosial, kemanusiaan, dan nilai-nilai hukum.
Sebagai seorang tokoh agama, ia menegaskan bahwa Islam secara mutlak mengharamkan miras. Hadis Nabi Muhammad SAW menyebutkan: Kullu khamrin muskirin, wakullu muskirin haramun” yang artinya: Setiap yang memabukkan adalah khamar, dan setiap yang memabukkan hukumnya haram.” Maka dari itu, pemberantasan miras memang mutlak didukung, namun harus dilakukan dengan cara yang benar, adil, dan beradab.
Polemik ini menunjukkan pentingnya membaca gagasan secara utuh dan tidak terburu-buru menghakimi. Perbedaan pendapat adalah bagian dari diskursus demokrasi. Yang perlu dijaga adalah bagaimana kita menyikapi perbedaan itu dengan kepala dingin dan pemahaman yang mendalam.
Oleh Ismail Asso, Anggota MRP Papua Pegunungan, Pokja Agama Islam